YAKI (Macaca hecki) BUKAN MUSUH. SARTAM MEMILIH BERDAMAI DENGANNYA



Yuk kita kenali yaki, sebutan monyet hitam khas asal Sulawesi. Keberadaan para Macaca hecki itu kini terancam kritis. Tugas tanggungjawab kita untuk menjaga mamalia moyet hitam ini dari kepunahan. Kita patut berbangga dan berterima kasih atas kearifan Sartam, seorang petani transmigran di Gorontalo, yang merelakan sebagian kebunnya untuk memberi makan yaki si monyet hitam. 




biodiversity warrior
Yaki, si Monyet Hitam, yang  di Indonesia hanya ada di Sulawesi .  Foto: Biodiversity Warrior 

Kebun Sartam (69 tahun) di lereng hutan Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, bak meja makan seluas dua hektar di mata yaki, si monyet hitam Sulawesi. Lelah berkonflik dengan yaki, Sartam merelakan sebagian kebunnya untuk monyet itu.

Tulisan ini disalin dari Harian KOMPAS Senin, 23 September 2019. Penulis oleh ARIS PRASETYO  

Mulanya, pada 2003, Sartam membuka lahan seluas 2 hektar di Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Sebagian kawasan di sana diperuntukkan bagi transmigran.

Sartam, ayah tiga anak, adalah transmigran asal Banyumas, Jawa Tengah, yang mencoba mengadu nasib di Puncak Jaya setelah bertahun-tahun tinggal sebagai transmigran di Poso, Sulawesi Tengah.

Tangan dingin Sartam berhasil menumbuhkan bermacam-macam tanaman di kebun. Sebut saja jenis kakao yang menjadi tanaman utama, pisang, papaya, langsat, rambutan, petai, dan aneka sayuran. Semuanya tumbuh subur.

Di mata yaki (Macaca hecki) dan babi hutan, apa yang ditanam Sartam bak hidangan di atas meja makan seluas dua hektar.

wikipedia
ganteng ya aku...  Macaca Hecki asal Sulawesi. Foto: Wikipedia 

Kebun Sartam akhirnya menjadi makanan empuk yaki dan babi hutan. Bagi Sartam dan petani lainnya di Puncak Jaya, yaki adalah ‘musuh’ yang paling tangguh. Yaki, yang jumlahnya puluhan ekor dalam satu gerombolan,  tak pernah menunjukkan rasa takut saat diusir.

“Berbagai cara sudah saya gunakan untuk mengusir yaki. Bahkan sempat timbul di pikiran untuk membunuh yaki-yaki itu,” ucap Sartam saat ditemui Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas tahun 2019.  

Mula-mula, Sartamd dan petani di Puncak Jaya memasang perangkap berupa kandang kayu dengan umpan buah-buahan. Cara itu tak berhasil. Kemudian, anjing penjaga yang diikatkan di salah satu pohon kakao juga tak membuat nyali yaki surut. Anjing malah menjadi permainan bagi puluhan yaki yang menyerbu.

Dirinya sadar bahwa sejatinya hutan yang ia buka menjadi kebun adalah rumah tinggal yaki. Kawasan itu merupakan tempat para mamalia yaki ini mencari makan dan bermain. Ingatan itu membuka pikirannya.

Saya berucap dalam hati. Silakan kalian (yaki) ambil sebagian saya ikhlas. Tapi tolong sisakan sebagian untuk saya,” tutur Sartam.

Akhirnya, Sartam membiarkan yaki-yaki itu menikmati sebagian buah dan sayur yang ia tanam. Toh, keputusannya itu tak membuat usaha taninya bangkrut. Kualitas kakao yang ditanam Sartam adalah yang terbaik di Puncak Jaya, sehingga harga di tingkat pengepul lebih tinggi dibandingkan dengan kakao petani lainnya.

Biji kering kakao Sartam laku dijual lebih tinggi Rp. 2.000 – Rp. 4.000,- per kilogram. Saat ini, harga kakao di tingkat petani rata-rata Rp. 28.000,-  per kilogram. Harga kakao memang naik turun dan pernah anjlok hingga Rp. 16.000,-  per kilogram pada 2015 dan melonjak menjadi Rp. 39.000,-  setahun kemudian.

Tekad Budiono (54) yang juga petani kakao di desa Puncak Jaya, menuturkan, yaki dan babi hutan memang masih menjadi hama utama petani di desanya. Ia dan petani lain menyadari bahwa, satwa tersebut menjarah hasil kebun lantaran di hutan sudah sulit menemukan sumber pakan. Ia pun melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Sartam, yakni merelakan sebagian hasil kebunnya menjadi sumber pakan satwa hutan.

Apa yang dilakukan Sartam, menurut Staf Perencanaan Sumber Daya Alam Gorontalo pada Burung Indonesia, Afi Nursafingi, dengan merelakan sebagian kebunnya untuk makanan satwa di hutan merupakan sikap bijak dalam konflik sumber daya alam yang melibatkan manusia dan satwa. Selain menjadi sumber penghidupan manusia, hutan juga menjadi rumah bagi banyak satwa.

“Hutan di desa Puncak Jaya dan sekitarnya adalah rumah penting bagi satwa endemik di Sulawesi, seperti anoa, maleo, yaki, dan berbagai jenis burung lainnya,” kata Afi.  

Cara Sartam menghadapi yaki direspon positif sejumlah pihak. Ia diganjar penghargaan dari pemerintah Kabupaten Pohuwato untuk kategori inspirator lingkungan dalam penerapan sistem pertanian berkelanjutan, pada Mei 2019.

Saya berucap dalam hati. Silakan kalian (yaki) ambil sebagian saya ikhlas. Tapi tolong sisakan sebagian untuk saya.” 


Sartam juga mendapat penghargaan sebagai pejuang lingkungan hidup dari BirdLife Indonesia.

ENDEMIK


Macaca hecki hanyalah satu dari 7 spesies monyet Sulawesi yang dikenal sejauh ini. Keenam spesies lainnya adalah Macaca nigrescens, Macaca nigra, Macaca ochcreata, Macaca tonkeana, Macaca maura, dan Macaca brunnescens.

Jenis Macaca nigra adalah yang paling unik karena bulu hitam di sekujur tubuhnya, jambul di kepala, dan pantat yang kemerahan.

kompas
Macaca Nigra  yang kini terancam kritis.
 Selain dibunuh sebagai hama, juga dibunuh untuk dimakan dagingnya.
Kasihan ya.....
. Foto: Kompas.com

ilustrasi
yaki dengan pantatnya yang merah. Lucu dan menggemaskan ya... 
Foto: BKSDA Sulawesi Utara - Kini News

Selain itu, status konservasi Macaca nigra terancam kritis atau lebih gawat statusnya daripada enam spesies lainnya. Terancam kritis artinya spesies tersebut beresiko tinggi terhadap kepunahan di alam liar dalam waktu dekat. Adapun status keenam spesies lainnya ialah rentan, atau dua tingkat di bawah terancam kritis.

Naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, turut mencatat keberadaan monyet hitam Sulawesi ini dalam bukunya The Malay Archipelago.  Wallace tercatat tiga kali berkunjung ke Sulawesi, yaitu Makasar (Juli - November 1856 dan Juli-November 1957) dan ke Manado (Juli-September 1859).

Ia menulis bahwa spesies ini memiliki kerabat dekat di Filipina, tetapi tidak ditemukan spesies lain yang punya kemiripan dengan hewan di daerah lain di Nusantara. 

Hewan mamalia ini hidup dalam kelompok besar dan biasanya bersarang di pepohonan, tetapi sering turun untuk mencuri makanan dari lading atau kebun buah, tulis Wallace dalam The Malay Archipelago.  

Tulisan ini disalin dari Harian KOMPAS Senin, 23 September 2019. Penulis oleh ARIS PRASETYO (laporan Mohamad Final Daeng, Kristian Oka Prasetyadi).

Post a Comment

0 Comments