Dengan ketekunannya, Mustafa Badrun berhasil mengubah pola pencarian ikan dengan meracun ikan, dan memulihkan kesadaran masyarakat Kab. Indragiri Hilir untuk menyelamatkan hutan mangrove yang tersisa di Desa Sapat dan sekitarnya.
Disalin dari harian KOMPAS, 30 Oktober
2018.Rubrik SOSOK. Penulis: Syahnan Rangkuti
Pada
tahun 1997, Mustafa Badrun muda berlibur selama sepekan untuk menjumpai orangtuanya
di Sapat, pulau kecil di perairan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir,
sekitar 340 km dari kota Pekanbaru.
Waktu
itu ia baru tamat pendidikan di Pesantren Darul Islah di Jakarta. Sedianya,
setelah melepas rindu dengan keluarga dan teman semasa kecil, ia kembali ke
Jakarta untuk menuntut ilmu lebih tinggi.
Rencana
itu buyar. Ayahnya, Badrun, guru madrasah di dusun kecil di desa Sapat, meminta
Mustafa kecil menetap di kampung. Badrun berharap putranya dapat meringankan
pekerjaannya di kampung.
Mustafa mematuhi arahan ayahnya. Setelah kembali ke kampung, Mustafa merasa ada yang hilang. Ia tidak lagi merasakan suasana yang indah di masa kecil di aliran Sungai Batang di depan rumahnya.
Mustafa mematuhi arahan ayahnya. Setelah kembali ke kampung, Mustafa merasa ada yang hilang. Ia tidak lagi merasakan suasana yang indah di masa kecil di aliran Sungai Batang di depan rumahnya.
"Sewaktu
kecil saya sering bermain di sungai itu. Sambil bermain, kami menangkap udang
galah dengan tangan. Sewaktu saya kembali ke kampung, jangankan udang
galah, udang kecil pun sulit ditemukan,” kata Mustafa mengenang kepulangannya,
dalam perbincangan dengan KOMPAS di Sapat, akhir Oktober 2018
Setelah
mengamati perilaku warga, Mustafa menyadari ada yang tidak beres dalam pola
penangkapan ikan di kampungnya.
Ternyata, warga menggunakan racun. Pantas saja ikan, udang, dan kepiting, di sungai itu lenyap. Racun telah mematikan semua satwa di sungai tersebut.
Ternyata, warga menggunakan racun. Pantas saja ikan, udang, dan kepiting, di sungai itu lenyap. Racun telah mematikan semua satwa di sungai tersebut.
Pola
meracun ikan itu awalnya bukan perbuatan warga kampung. Mereka meniru nelayan
tetangga mengambil ikan menggunakan racun, menyetrum, dan mengebom ikan di
sungai itu.
“Warga
kami ikut-ikutan. Mereka berdalih, ‘kalau orang luar boleh (meracun ikan),
mengapa kami (yang hidup di sisi sungai) tidak boleh," ucap Mustafa.
Meski
telah kehilangan pendapatan dari sungai, kehidupan warga Sapat waktu itu belum
terlalu terdampak. Warga memiliki pencarian yang lebih bagus, yaitu dari kebun
kelapa.
Kampung
Sapat dulu adalah kawasan hutan mangrove yang asri. Hutan itu merupakan tempat
ikan, udang, dan kepiting bertelur serta berkembang biak.
Pada pertengahan tahun 1970-an, puluhan warga, terutama dari Sungai Luar, Kecamatan Batang Tuaka, Indragiri Hilir, bermigrasi ke daerah baru itu untuk mencari penghidupan baru.
Pada pertengahan tahun 1970-an, puluhan warga, terutama dari Sungai Luar, Kecamatan Batang Tuaka, Indragiri Hilir, bermigrasi ke daerah baru itu untuk mencari penghidupan baru.
Badrun
pun pindah ke ujung Kampung Sapat pada
1979 dengan membawa Mustafa kecil yang masih berusia 3 tahun. Warga pendatang
kemudian membuka hutan mangrove dan menanam kelapa. Sebelum kelapa berproduksi,
warga menangkap ikan, udang, dan kepiting di Sungai Batang yang membelah hutan,
sebagai penghasilan keluarga.
Pada
saat ikan habis akibat diracun, warga mengandalkan kebun kelapa. Harga kelapa
waktu itu masih sangat baik Rp 2.000 sampai Rp 2.500 per butir. Rata-rata
keluarga memiliki produksi 20.000 sampai 30.000 butir kelapa per tiga bulan.
Dengan harga Rp 2.000 perbutir, penghasilan warga mencapai Rp 60 juta. Setelah dipotong ongkos produksi, petani mengantongi uang Rp 45 juta per panen, atau penghasilan sebesar Rp 15 juta perbulan.
Dengan harga Rp 2.000 perbutir, penghasilan warga mencapai Rp 60 juta. Setelah dipotong ongkos produksi, petani mengantongi uang Rp 45 juta per panen, atau penghasilan sebesar Rp 15 juta perbulan.
Sewindu
terakhir, produksi kelapa menurun tajam. Penyebabnya, hutan mangrove yang rusak
membuat air asin mengintrusi daratan. Pohon kelapa sekarat dan mati.
Di
saat kebun rusak dan produksi kelapa menurun, harga kelapa justru anjlok sampai
Rp 700 per butir. Di sisi lain, penghasilan dari sungai tidak ada lagi.
Kehidupan warga menjadi kocar kacir. Warga mendapat pukulan ganda yang telak.
Sebagian besar warga tidak mampu bertahan. Selama satu dekade, dua pertiga RW 005 Sapat bermigrasi ke Tembilahan, mencari penghidupan baru.
PATROLI
Mustafa
yang kemudian terpilih menjadi Ketua RW 005 Sapat bertahan. Ia mulai berfikir
menyelamatkan kampungnya.
Pada tahunn 2013, saat pergi ke Tembilahan, ia tergerak membuat spanduk kecil berisi kata-kata “Dilarang Meracun. Jagalah Kami untuk Anak Cucu Kita”. Di bawah kalimat itu, terdapat gambar ikan, udang, dan kepiting.
Pada tahunn 2013, saat pergi ke Tembilahan, ia tergerak membuat spanduk kecil berisi kata-kata “Dilarang Meracun. Jagalah Kami untuk Anak Cucu Kita”. Di bawah kalimat itu, terdapat gambar ikan, udang, dan kepiting.
“Saya
pasang spanduk itu di pengkolan (tikungan) sungai. Ternyata spanduk itu cukup
berhasil. Nelayan yang meracun berkurang. Namun, di sisi lain, penggunaan racun
masih marak,” kata Mustafa.
Setelah
spanduk, Mustafa mengumpulkan orang yang sepaham untuk menyosialisasikan cara
menangkap ikan tanpa racun. Awalnya ia mendapat perlawanan dari warga yang ikut
meracun. Namun, lama-kelamaan orang yang kontra semakin sedikit.
Pada
tahun 2016, Mustafa diajak Yayasan Mitra Insani (YMI), sebuah LSM lingkungan di
Riau, untuk semakin intensif menyelamatkan hutan mangrove di desa itu. Upaya
pengelolaan lingkungan pun menjadi semakin terstruktur. Secara rutin warga
melakukan patroli sembari menangkap ikan dan udang di sungai.
“Kalau
ada nelayan tetangga masuk, kami datangi dan mengajak mereka ikut menjaga
lingkungan,” kata Mustafa.
Pada
pertengahan 2016 nyaris terjadi aksi massa tatkala warga Sapat menangkap basah
dua nelayan tetangga sedang meracun ikan. Untungnya, Ketua RT 013 Saidah yang
hadir di lokasi dapat menenangkan warga yang marah. Jaring togok nelayan
peracun di rusak, tetapi nelayan itu dibiarkan pulang. Kejadian tersebut
tersiar jauh. Sejak saat itu tidak ada lagi nelayan tetangga meracun ikan di
Sungai Batang.
Berkat
pendampingan YMI, pada akhir 2017, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan izin
pemanfaatan hutan mangrove (perhutanan sosial) kepada warga Sapat bersama tiga
desa lainnya di Kuala Kampar, yaitu Desa Perigi Raja, Sungai Piyai, dan Tanjung
Melayu. Mustafa ditunjuk sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Sapat.
Menurut
Abizar, pendamping warga dari YMI, empat hutan desa di Kuala Kampar berada satu
hamparan. Hutan Desa Sapat berada di tengah.
Kalau hutan mangrove desa lain rusak, penyelamatan lingkungan hutan Sapat menjadi kurang berarti. Karena itu, warga desa lain diajak mengelola lingkungan. Masyarakat Sapat, terutama Mustafa, menjadi panutan pengelola hutan desa di Kuala Indragiri.
Kalau hutan mangrove desa lain rusak, penyelamatan lingkungan hutan Sapat menjadi kurang berarti. Karena itu, warga desa lain diajak mengelola lingkungan. Masyarakat Sapat, terutama Mustafa, menjadi panutan pengelola hutan desa di Kuala Indragiri.
Sejak
penggunaan racun dilarang, ikan, udang, dan kepiting kini semakin banyak
ditemukan di Sungai Batang. Di saat harga kelapa anjlok seperti sekarang,
pekerjaan nelayan sudah mampu menyokong rumah tangga warga lagi.
“Sekarang
kami mengembangkan ekowisata dengan mengundang warga luar memancing di sungai
kami,” kata Mustafa.
Menurut
Mustafa, sejak melancarkan kampanye anti racun, produksi hasil laut dari Sungai
Batang meningkat pesat. Pada tahun 2017, nelayan memperoleh penghasilan Rp 3,7
miliar dari pengelolaan sungai di tengah hutan desa, terutama dari sumber daya
seperti ikan, udang, dan kepiting.
Pada
tahun 2018, Bupati Indragiri Hilir memberikan penghargaan Gemilang Award kepada
warga Sapat yang berhasil menjaga ekosistem hutan mangrovenya. (dikutip oleh IM)
Biografi
MUSTAFA BADRUN
Lahir:
Batang Tuaka, 4 Agustus 1976
Pendidikan:
-Madrasah
Arrasyid Sapat, 1990
-Madrasah
Aliyah Batang Tuaka, 1993
-Pesantren
Darul Islah Jakarta, 1997
Istri:
Latifah
Anak:
-Zakiatul
Hikmah (17)
-Ahmad
Syaukani (alm)
-Ahmad
Muslih (12)
-Azkiatuzzahra
(8)
-Mohammad
Gozali (5)
LIHAT JUGA:
0 Comments