CARA SELAMATKAN PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) DI PANTAI SABA, GIANYAR, BALI. PENGALAMAN I MADE KIKIK


I Made Kikik hanyalah nelayan biasa, tiap hari melaut.  Bedanya, selama empat tahun terakhir, ia menerima panggilan sebagai penangkar penyu Lekang (Lepidochelys olivacea). Sedikitnya 100 telur ditetaskan tiap hari di kolam-kolam pasir dari beton. 

Disadur dari harian Kompas, 8 November 2018, rubrik SOSOK. Penulis: Ichwan Susanto, Harian KOMPAS

Kompas, I Made Kikik Tak Lekang Selamatkan Penyu Lekang
I Made Kikik 

Kolam-kolam penangkaran ini ada di Desa Saba, Kecamatan Blahbatu, di pinggir Pantai Saba di Gianyar, Bali, yang berwarna hitam. Lokasinya relatif  mudah dicari karena berdekatan dengan Villa Jeeva Saba dan Pura Anyar yang memiliki pepohonan sangat besar dan rimbun.

Pasir bertekstur, Kamis (1/11/18) itu terasa sangat panas terpapar matahari siang di Bali. Saat itu, sejumlah wartawan diajak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Indonesia Power untuk melepas 200 tukik atau anakan penyu hasil penangkaran Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri di Desa Saba yang diketuai I Made Kikik.

Indonesia Power di Bali melalui program tanggung jawab sosialnya membantu pengadaan mesin pompa air dan kolam penetasan bagi Saba Asri.

Pantai di sepanjang wilayah Gianyar ini memiliki musim peneluran penyu  pada sekitar Maret-Agustus. Pada malam-malam itu, Kikik dan anggota Kelompok Saba Asri serta sukarelawan menyusuri Pantai Saba, Biaung, Lepang, Purnama, dan Masceti untuk menemukan sarang-sarang penyu yang baru ditinggalkan induknya. Mereka beradu cepat dengan anjing-anjing liar setempat yang berpesta telur penyu di musim itu.

Dalam satu sarang, mereka bisa menemukan 100-an telur untuk dibawa ke tempat penangkaran. Pada musim peneluran 2018 ini, mereka menemukan 317 sarang. Jumlah itu melonjak dibandingkan temuan tahun sebelumnya yang hanya 115 sarang.

Sepanjang Pantai Saba dan sekelilingnya yang relatif  masih aman dari abrasi menjadikan banyak penyu memilih pantai ini sebagai lokasi peneluran. Telur penyu ini memerlukan tempat yang bebas dari rendaman air, baik air laut maupun air tawar.

Untuk meningkatkan keberhasilan penetasan, telur-telur di sarang ini kemudian ditaruh pada kolam-kolam pasir. Kolam itu terbebas dari gangguan anjing liar ataupun rendaman air. Setelah 45 hari, tukik-tukik mulai keluar dari cangkang telur. “Keberhasilan penetasan mencapai 80%,” kata Kikik.

Tukik yang telah menetas ini lalu dipelihara di kolam-kolam air laut yang hanya sedalam 10 sentimeter. Setelah telur-telur menetas, tantangan berat yang dihadapai kelompok yang beranggotakan nelayan kecil ini.

Untuk menghidupi 50 ekor tukik, mereka membutuhkan 1 kg udang atau ikan tuna tiap kali makan, atau 2 kilogram perhari.  Harga udang RP. 80.000 perkilogram, atau biaya pakan Rp. 160.000 perhari. 

Itu memberatkan. Apalagi pada musim penetasan, ratusan ekor tukik harus dihidupi oleh para nelayan pada pagi dan sore hari. Apabila kebutuhan pakan kurang, tukik akan saling menggigit sehingga memperbesar resiko kematian.

“Sering kami harus pakai uang sendiri atau sering juga ngebon. Nanti kalau ada uang dari tamu yang melepas tukik, kami bayar,” kata Kikik, polos.   

PENYU LEKANG DI PANTAI SABA, GIANYAR, BALI

Untuk meringankan biaya kegiatannya, Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri yang dikelola nelayan, memungut biaya pelepasan tukik Rp. 50.000 per ekor. Dana yang terkumpul kemudian digunakan untuk penyempurnaan fasilitas dan sarana prasarana penangkaran.”Tidak ada honor untuk anggota yang memelihara,” kata Kikik.

Tak heran, anggota kelompok yang tadinya berjumlah delapan orang, kini tersisa empat orang.  Separuh anggota perlahan undur diri karena merasa tak mendapatkan manfaat ekonomi dari penangkaran penyu ini. Kikik hanya berharap ada donator yang rutin membantu operasional rutin harian penangkaran tukik ini.

Kikik mulai terpanggil di dunia konservasi penyu sekitar 10 tahun lalu. Saat itu sepulang melaut, ia melihat seekor anjing liar yang sedang berpesta telur penyu. Peristiwa itu mengusik dan mengetuk hatinya. Ia sadar keberadaan penyu kini menghadapi ancaman sangat tinggi dari perburuan telur oleh anjing dan warga yang belum sadar pentingnya konservasi.

Dengan inisiatif pribadi, ia mengumpulkan telur dari satu sarang dan menetaskannya di rumah dengan menggunakan kotak-kotak styrofoam. Dari 100 telur, dia berhasil menetaskan 80 tukik. “Ternyata tidak sulit menetaskan telur penyu ini,” katanya.

Ia pun kemudian mengajak wisatawan melepas penyu-penyu lekang tersebut dari pinggir pantai. Tak disangka, peristiwa yang dirasanya biasa-biasa saja itu diabadikan oleh media lokal.

Rupanya langkah itu membuat ia kesulitan karena harus memenuhi pemeriksaan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta satuan polisi pamongpraja (Satpol PP). “Saya waktu itu benar-benar tidak tahu, bahwa penyu termasuk binatang yang dilindungi,” katanya.

Untungnya dalih ini bisa dimengerti, dan kini pihak BKSDA aktif mendampingi Kikik dalam menangkar penyu.  Pada tahun 2014, ia mendapat bantuan pemerintah kabupaten Rp. 50 juta yang dimanfaatkan untuk membuat penangkaran penyu.  

Donatur dari Bali Zoo, Yayasan Widya Guna, serta lembaga donor pun ambil bagian. Diantaranya turut membantu membuatkan pagar keliling penangkaran agar terbebas dari ancaman anjing yang mengincar telur-telur penyu.

Setelah menggeluti dunia penyu ini, ia kini masih heran dengan perubahan hidupnya. “Saya ini dulu tukang judi dan mabuk, setelah kenal penyu kok jadi berhenti semua. Ini sisi positifnya yang saya rasakan secara pribadi,” katanya.

Apakah menjadi pelestari membuatnya meninggalkan dunia nelayan? Kikik mengatakan bisa mengatur waktu antara penetasan telur dan mencari ikan.

“Musim kemarau itu biasa paceklik ikan. Akan tetapi saat itu pas musim penyu bertelur. Jadi kami bisa mencari telur. Sebaliknya, musim ikan itu di musim hujan, dan penyu yang bertelur pun jarang. Jadi saat itu kami bekerja mencari ikan,” katanya.

Selain mencari telur penyu di sarang-sarang alam untuk ditetaskan, Kikik pun menerima telur-telur penyu yang dikumpulkan sejumlah nelayan dari daerah-daerah lain, seperti Klungkung dan Amed.  “Mereka membawa telur-telur itu kemari untuk ditetaskan. Ada yang dijual Rp 3.000 perbutir, ada yang titip saja, diambil setelah menetas,” katanya.

Hingga kini, sedikitnya Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri telah melepaskan 2.327 tukik di Pantai Saba. Di penangkaran, Kiki masih memelihara 2.500 ekor yang siap dilepaskan ke alam.

I MADE KIKIK
Lahir:  Gianyar, 16 November 1967
Istri:    Ni Wayan Parwati (45)
Anak: -Ni Wayan Winiasih  (26)
-I Kadek Kerta Saba (19)
Pendidikan: SD 3 Saba
Pekerjaan: Nelayan pantai Saba, dan penangkar penyu lekang.  


Post a Comment

0 Comments