Burung maleo (Megacephalon maleo), hewan endemik Sulawesi ini terancam punah kalau tak dijaga oleh pecinta satwa seperti Max Welly Lela.
Disadur dari harian KOMPAS, rubrik SOSOK, 7 Juni 2019. Penulis: Kristian Oka Prasteyadi.
Max Welly Lela, mengabdikan hidup untuk burung Maleo. Foto: Kompas.id |
Hari-hari
Max Welly Lela (55) habis bersama burung maleo. Padahal, ia memulai “cintanya”
dengan cara iseng-iseng melamar kerja di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Kini, Max menjadi rujukan untuk mengelola pusat-pusat peneluran maleo di
Sulawesi.
Sebagai
warga kelahiran Desa Kota Menara, Amurang Timur, Minahasa Selatan, pada 1964,
burung maleo (Megacephalon maleo)
seperti mitos bagi Max kecil. Dulu, orang tuanya sering bercerita, menemukan
maleo sangat mudah di desa yang terletak di utara Gunung Soputan itu, karena
jumlahnya banyak.
Burung-burung
itu juga tersebar luas hingga pesisir utara Amurang. “Sekarang maleo tinggal
cerita di Minahasa Selatan,” kata Max saat ditemui di Suaka Maleo Tambun,
Bolaang Mongondow, Rabu (22/5/2019).
Burung maleo (Megacephalon maleo). Foto: Greeners.co
|
Max yang
kini menjabat Kepala Resor Dumoga Timur – Loyalan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW)
mulai bekerja di area Subseksi Perlindungan dan Pengawetan Alam Bolaang
Mongondow pada 1983. Saat itu, TNBNW
belum dibentuk.
Kedekatannya
dengan maleo mulai tumbuh pada 1985. Selama dua tahun, dia ditugasi mendampingi
peneliti Belanda, Rene Dekker, dari World Wildlife Fund untuk mengamati maleo
di lokasi yang kini menjadi Suaka Maleo Tambun, yaitu di Resor Dumoga
Timur-Lolayan.
Saat itu,
populasi maleo masih tinggi di Lembah Dumoga yang masuk daerah TNBNW. “Setiap
sore, selalu ada maleo bertengger di pohon-pohon. Tugas saya mengamati tingkah
laku burung, mengumpulkan telurnya pada siang hari, dan mengukur suhu di
titik-titik peneluran maleo di dalam tanah,” tutur Max.
Setelah
dipindahtugaskan beberapa tahun, ia kembali ke Suaka Maleo Tambun pada 1998
untuk mendampingi pembuatan film dokumenter maleo oleh stasiun televisi Jepang.
Pada 2001, Wildlife Concervation Society (WCS) menjadi mitra TNBNW dalam
konservasi maleo.
PENASARAN MENGAMATI PROSES BERTELUR MALEO
Pengetahuannya
akan maleo semakin kaya, tetapi rasa penasaran terus menggelitik Max. Terlepas
dari penelitian yang dilakukan, ia terus memperhatikan tingkah laku maleo
terutama saat akan bertelur. Max menyadari, telur maleo selalu ditemukan
terkubur di area di bawah pohon yang tidak ditumbuhi rumput.
“Karena
itu, saya bersihkan titik-titik peneluran dari rumput. Saya sengaja menggali
lubang untuk memancing mereka bertelur di situ dan ternyata itu sangat
efektif,” katanya.
cara burung maleo bertelur dengan menggali lubang dalam yang hangat |
Berdasarkan
upaya itu, Max bisa tahu lubang mana yang menyimpan telur di dalamnya, yaitu
lubang yang menyisakan debu bekas galian di batuan di sekitarnya.
Ia juga
mengerti kedalaman lubang yang akan digali maleo untuk memastikan telur berada
di suhu 32-37 derajat Celcius. Pengetahuan ini menjadi referensinya untuk
menggali kedalaman lubang di kandang peneluran maleo.
Anak maleo setelah menetas. Telurnya berukuran 5 x lebih besar dari telur ayam |
Pengamatan
juga dijadikan dasar menentukan pakan maleo di area suaka. Max melihat maleo di
area suaka memakan buah kemiri, melinjo dan keluak yang tumbuh di hutan suaka.
anak maleo |
Ia pun mengumpulkannya untuk ditebar di di area peneluran setiap hari. “Jadi suaka bukan hanya menjadi tempat bertelur bagi maleo, melainkan juga bisa jadi tempat mendapatkan makanan,” katanya.
Bagi 24 maleo yang dirawat di dalam kandang habituasi, Max mengambil batang pohon yang sudah lapuk dan meletakkannya di dalam. Rayap dan lat yang tinggal di dalam kayu lapuk menjadi pakan sumber protein bagi maleo.
“Pakan
buah-buahan juga sengaja ditebar, kadang disembunyikan di bawah dedaunan. Itu
untuk membantu mereka mempertahankan sifat liarnya meskipun berada di dalam
kandang,” ujar Max.
Semua
dilakukan Max tanpa arahan khusus atau pun metode ilmiah tertentu, murni dari
pengamatan semata. Rupanya, upayanya berhasil baik.
Sejak 2001
hingga kini, sekitar 4.000 telur maleo telah menetas di Suaka Maleo Tambun.
Anak-anak maleo dilepasliarkan setelah perawatan selama dua sampai tiga bulan.
Kandang
isolasi maleo pun tidak pernah terpakai, karena maleo di Suaka Maleo Tambun
tidak pernah sakit. Apa saja yang dikonsumsi oleh burung-burung di suaka tak
pernah luput dari perhatian Max.
Di
kandang habituasi dan di kandang anak maleo, air minum selalu diganti dua hari
sekali agar tidak menampung bibit penyakit.
Max tak
pernah berfikir dua kali menyangkut kebaikan maleo. Selama bertugas di Suaka
Maleo Tambun, mungkin puluhan juta dari gajinya telah disisihkan untuk membeli
bibit tumbuhan pakan maleo dan membangun titik pengamatan burung.
Untungnya,
Rp. 750.000 yang dialirkan TNBNW dalam mekanisme pengelolaan berbasis resor (resort based management/RBM) bagi
pegawai berstatus ASN cukup meringankan bebannya. “Namun, selama kebutuhan
dapur dan sekolah anak-anak tak terganggu, saya tidak keberatan untuk maleo,”
katanya.
Para
pengelola TNBNW pun mengakui Max telah menjadi ahli maleo meski tak menyandang
gelar sarjana apa pun. Pada 2013, ia mempresentasikan hasil kerja pembiakan
maleo di TNBNW bersama Kepala Balai, Agustinur Rante Lembang, di depan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan.
Sejak itu,
berbagai pusat peneluran maleo, seperti di Lore Lindu dan Saluki (Sulawesi
Tengah), dan Tompotika (Sulawesi Selatan), telah melaksanakan studi banding di
Suaka Maleo Tambun.
Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Palu, Sulawesi Tengah, juga menyambangi Max untuk
belajar tentang maleo. Total 16.170 maleo telah menetas dari telurnya dan
dilepasliarkan di Sulawesi sejak 2001 hingga Maret 2019.
“Yang saya
lakukan itu sebenarnya bagian dari pekerjaan sehari-hari. Biasa saja, bukan
prestasi. Namun, saya pribadi mendapatkan kepuasan yang besar,” katanya.
REGENERASI PENERUS PEMBIAKAN MALEO SIAPA?
Kini Max
telah berusia 55 tahun. Ia khawatir tiga tahun lagi tidak ada orang yang
meneruskan kerja kerasnya setelah ia pensiun. TNBNW boleh memiliki banyak
pegawai, tetapi belum tentu semua orang mau mencurahkan perhatiannya kepada
maleo.
Pada awal
2000-an sebelum WCS bermitra dengan TNBNW, pencurian telur maleo sangat marak.
Para petugas sebelum Max pun tidak begitu disiplin dalam pengumpulan telur.
“TNBNW menginginkan kelompok masyarakat bisa
mengelola suaka maleo ini. Karena itu, harus ada orang yang bisa mengadopsi
pengetahuan-pengetahuan saya agar tidak sia-sia. Saya buka kesempatan
lebar-lebar untuk yang mau belajar tentang maleo dan satwa lainnya secara
gratis, tetapi baru dua sampai tiga orang yang datang,” katanya.
Beberapa
orang yang sering datang tidak percaya diri karena keterbatasan pengetahuan dan
tidak bisa berbahasa Inggris. Ada pula yang skeptis dengan penghasilan yang
bisa didapatkan dari menjadi pengelola suaka. Max terus berusaha menyemangati
dari berbagai perspektif, termasuk finansial.
Waktu
semakin sempit, tetapi Max tidak patah semangat. Ia tak ingin cerita maleo di
Bolaang Mongondow berakhir seperti di Minahasa tanah kelahirannya, cuma mitos
belaka.
“Saya tidak
mau maleo hanya menjadi cerita ke cucu-cucu saya nanti,” kata Max. Ia
benar-benar telah mengubah mitos tentang kebiasaan hidup burung-burung maleo di
dataran Sulawesi menjadi kenyataan.
Biodata MAX WELLY LELA
Lahir : Desa Kota Menara, Amurang Timur, Minahasa Selatan, 9 Maret 1964 Istri : Diane Kawengian (53) Pendidikan: SD GMIM Pinabetengan, Tompaso, Minahasa Selatan (1970-1976), SMPN Tompaso, Minahasa Selatan (1976-1979), SMAN Kawangkoan, Minahasa Selatan (tidak tamat), Kejar Paket C Kelompok Belajar Ahmad Yani, Kotamobagu (2005) Anak : Ramanda Lela (33), Rawinda Lela (31), Trintamida Lela (30)
SEKILAS TENTANG KEUNIKAN MALEO
membuat lubang tipuan agar telur terhindar dari predator pemangsa telur |
Menurut Wikipedia, burung Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong (hidup di pasir) berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon.
Yang unik, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang.
Ukuran telur burung maleo beratnya 240 gram hingga 270 gram per butirnya, ukuran rata-rata 11 cm, dan perbandingannya sekitar 5 hingga 8 kali lipat dari ukuran telur ayam.
Namun saat ini mulai terancam punah karena habitatnya semakin sempit dan telur-telurnya yang diambil manusia. Diperkirakan jumlahnya kurang dari 10.000 ekor saat ini.
Warna bulunya hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan.
Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam (mirip dengan jambul keras pada ayam mutiara).
Jantan dan betina tampilannya serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.
Tidak semua tempat di Sulawesi bisa ditemukan maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di daerah yang memiliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng Pasifik atau Australasia.
Wilayahnya merupakan garis batas imajiner atau hipotesis terbagi antara garis Wallacea dan Weber. Dua garis ini memisahkan wilayah geografis hewan Asia dan Australasia.
Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia, dan di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia, serta kawasan peralihan diantaranya. Itu sebabnya Maleo merupakan hewan yang unik khas ekosistem Wallacea.
Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia, dan di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia, serta kawasan peralihan diantaranya. Itu sebabnya Maleo merupakan hewan yang unik khas ekosistem Wallacea.
Burung endemik Indonesia ini hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau Sulawesi, seperti di Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato) dan Sulawesi Tengah (Sigi dan Banggai).
Populasi maleo di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an. Berdasarkan pantauan di Cagar Alam Panua, Gorontalo dan juga pengamatan di Tanjung Matop, ToliToli, Sulawesi Tengah, jumlah populasi dari maleo terus berkurang dari tahun ke tahun karena dikonsumsi dan telurnya pun diburu warga.
Maleo bersarang di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang berukuran besar, mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam.
Gaya reproduksinya memang unik sekali. Ia bertelur, tapi tidak mengeraminya. Saat bertelur, karena telurnya besar, konon maleo sampai pingsan bahkan mati. Dan saat perkawinan dengan pejantan yang monogami, kadang betina maleo pun jatuh pingsan.
Setelah bertelur maleo akan mengubur telurnya di dalam pasir dan membiarkannya menetas sendiri dengan memanfaatkan panas dari bumi. Setelah tiba saatnya menetas anak maleo akan berjuang keluar dari pasir dan dapat langsung hidup mandiri.
Butuh waktu antara 62-85 hari bagi telur untuk menetas. Burung maleo pintar untuk membuat lubang tipuan untuk menyimpan telurnya, demi mengecoh predator.
Berbeda dengan anak unggas pada umumnya yang pada sayapnya masih berupa bulu-bulu halus, kemampuan sayap pada anak maleo sudah seperti unggas dewasa, sehingga setelah menetas ia mampu menggali jalan keluar dari dalam tanah, langsung terbang dan hidup layaknya maleo dewasa. Seterusnya, ia bersembunyi ke dalam hutan.
Hal ini dikarenakan nutrisi yang terkandung di dalam telur maleo lima kali lipat dari telur biasa, anak maleo harus mencari makan sendiri dan menghindari hewan pemangsa. Predatornya antara lain ular, kadal, kucing, anjing, babi hutan dan burung elang.
Pakan burung ini terdiri dari aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil. Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian anak burung yang tinggi, populasi yang terus menyusut serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas,
Maleo dievaluasikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendice 1.
Maleo (Macrocephalon maleo) adalah satu dari 4 jenis burung endemik di Sulawesi yang terancam punah.
Ketiga lainnya adalah Mandar Muka Biru (Gymnocrex rosenbergi).
Mandar Muka Biru |
Predator pemangsa maleo yang sering ditemukan pada malam hari adalah ular, soa-soa, biawak, kucing, anjing, babi, tikus.
Kangkareng Sulawesi, sejenis rangkong |
Julang Sulawesi, sejenis burung rangkong |
Burung maleo dahulu adalah santapan saat ritual adat. Dagingnya dimakan, dan telurnya dipercaya membawa kesembuhan sebagai obat. Belakangan ritul adat ini tidak lagi menggunakan burung maleo karena mendapat protes dari masyarakat yang peduli maleo. (IM)
0 Comments