Ada 6 hal yang perlu dicermati, agar membuat kompos cepat terwujud.
Perkembangan ini menggembirakan, karena sudah sejak lama ingin mewujudkan rencana mengolah kompos di sekolah.
Ternyata telah terjadi proses pengomposan. Sebagian besar dedaunan hijau dan dedaunan kering sudah tidak berbentuk dan menghitam.
Lima hari setelah penumpukan, ketika tumpukan dedaunan yang ada itu diraba sedikit ke dalam, terasa panas. Dan rasa panas itu terus meningkat. Meski tumpukan tidak tinggi, tapi panas yang terbentuk lumayan panas hangat. (uuuhh... sayang tidak diukur dengan termometer).
Berarti sedang terjadi proses pelapukan bahan organik, atau bahasa ilmiahnya: pengomposan.
Sedikit informasi: tentang apa itu kompos dan proses pengomposan. Menurut wikipedia, Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau
anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
Sedangkan pengomposan adalah proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Proses pengomposan itu, menurut literatur, tumpukan sampah dapat mudah panas jika ketinggiannya ideal sekitar 1 meter.
Nah, karenanya, tumpukan di atasnya saya tambah sampah lagi, tidak terlalu banyak, agar tidak keluar dari kotak. Tujuannya untuk makin meningkatkan panas itu.
Kini setelah 2 minggu berjalan, hawa panas tumpukan sudah reda atau dingin.
Diperiksa, juga kulit rambutan sisa dimakan kampret, yang kelihatan tebal dan sulit hancur, kini telah berupa bulatan coklat yang rapuh. Dipegang, kulit yang biasanya keras itu, seperti getas atau rapuh. Ditarik mudah robek. Mungkin kalau kering, diremas bisa remuk. Dan di bagian isinya, yang tadinya ada daging buah rambutan terlihat seperti ada jamur warna biru dan putih. Sementara biji-biji durian banyak yang berkecambah.
Lima hari setelah penumpukan, ketika tumpukan dedaunan yang ada itu diraba sedikit ke dalam, terasa panas. Dan rasa panas itu terus meningkat. Meski tumpukan tidak tinggi, tapi panas yang terbentuk lumayan panas hangat. (uuuhh... sayang tidak diukur dengan termometer).
Berarti sedang terjadi proses pelapukan bahan organik, atau bahasa ilmiahnya: pengomposan.
Sedikit informasi: tentang apa itu kompos dan proses pengomposan. Menurut wikipedia, Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau
anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
Sedangkan pengomposan adalah proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Proses pengomposan itu, menurut literatur, tumpukan sampah dapat mudah panas jika ketinggiannya ideal sekitar 1 meter.
Nah, karenanya, tumpukan di atasnya saya tambah sampah lagi, tidak terlalu banyak, agar tidak keluar dari kotak. Tujuannya untuk makin meningkatkan panas itu.
Kini setelah 2 minggu berjalan, hawa panas tumpukan sudah reda atau dingin.
Diperiksa, juga kulit rambutan sisa dimakan kampret, yang kelihatan tebal dan sulit hancur, kini telah berupa bulatan coklat yang rapuh. Dipegang, kulit yang biasanya keras itu, seperti getas atau rapuh. Ditarik mudah robek. Mungkin kalau kering, diremas bisa remuk. Dan di bagian isinya, yang tadinya ada daging buah rambutan terlihat seperti ada jamur warna biru dan putih. Sementara biji-biji durian banyak yang berkecambah.
Beberapa ranting kering, yang sebelumnya sudah saya patahkan pendek-pendek, juga kelihatan menjadi coklat tua dan rapuh. Proses peluruhan sampah organik ini berjalan begitu cepat. Wow ... begitu singkatkah?
Biasanya proses alami kompos berjalan sekitar 1-2 bulan. Jika dibantu dengan mikroba pengurai, menurut data perlu waktu 2 minggu - 1 bulan.
Biasanya proses alami kompos berjalan sekitar 1-2 bulan. Jika dibantu dengan mikroba pengurai, menurut data perlu waktu 2 minggu - 1 bulan.
Memang ada Pak Sukri, petugas kandang, yang menambahkan sampah kompos daun belimbing, yang diambil dari talang dan atap genteng. Sampah daun ranting yang berupa serbuk seperti kompos ini, secara periodik diturunkan dan dipakai merabuk tanaman di sekolah.
Ketambahan kompos ini apakah ada pengaruhnya?
Setelah 14 hari berjalan, dan tumpukan sudah tidak panas lagi, hari ini (22/2/19) tumpukan sampah itu dibongkar.
Sebagian besar dari bagian bawah tumpukan sampah itu telah meluruh menjadi remah-serbuk daun bercampur kompos daun belimbing dan tanah dasar yang ada sebelumnya. Tanahnya pun sudah merenggang atau remah. Ada sedikit sekam gergaji, juga sudah kelihatan mencoklat atau lapuk.
Saya keruk dan keluarkan sedikit demi sedikit. Bagian daun dan kulit buah , yang sudah mencoklat tapi masih berbentuk utuh, dikumpulkan dan ditumpuk kembali. Kemudian kesemuanya saya siram lagi dengan cairan mikroba pengurai (lihat tulisan sebelumnya tentang Membuat Kompos yang Efektif dan Hemat Ruang).
Pertanyaan yang menggelitik saya: Kok bisa begitu cepat?
Ketambahan kompos ini apakah ada pengaruhnya?
Setelah 14 hari berjalan, dan tumpukan sudah tidak panas lagi, hari ini (22/2/19) tumpukan sampah itu dibongkar.
Sebagian besar dari bagian bawah tumpukan sampah itu telah meluruh menjadi remah-serbuk daun bercampur kompos daun belimbing dan tanah dasar yang ada sebelumnya. Tanahnya pun sudah merenggang atau remah. Ada sedikit sekam gergaji, juga sudah kelihatan mencoklat atau lapuk.
Saya keruk dan keluarkan sedikit demi sedikit. Bagian daun dan kulit buah , yang sudah mencoklat tapi masih berbentuk utuh, dikumpulkan dan ditumpuk kembali. Kemudian kesemuanya saya siram lagi dengan cairan mikroba pengurai (lihat tulisan sebelumnya tentang Membuat Kompos yang Efektif dan Hemat Ruang).
Pertanyaan yang menggelitik saya: Kok bisa begitu cepat?
Ini asumsi saya. Mudah2an seterusnya benar:
TIPS 6 HAL YANG MEMPERCEPAT PEMBUATAN KOMPOS DI SEKOLAH DENGAN METODA AEROB:
TIPS 6 HAL YANG MEMPERCEPAT PEMBUATAN KOMPOS DI SEKOLAH DENGAN METODA AEROB:
1. Cukup basah.
Artinya, sampah itu memang memiliki cukup air atau cukup kelembaban, tapi tidak sampai banjir atau becek. Air merupakan faktor untuk kehidupan mikroba pengurai. Setiap mengisi saya sirami 2 ember cairan pengompos, sekitar 10 liter kira-kira. Dan dibolak balik sampahnya agar semua terkena cairan. Juga kadang iguana pipis cukup banyak ke situ,... crooot... hehehe...
Artinya, sampah itu memang memiliki cukup air atau cukup kelembaban, tapi tidak sampai banjir atau becek. Air merupakan faktor untuk kehidupan mikroba pengurai. Setiap mengisi saya sirami 2 ember cairan pengompos, sekitar 10 liter kira-kira. Dan dibolak balik sampahnya agar semua terkena cairan. Juga kadang iguana pipis cukup banyak ke situ,... crooot... hehehe...
Cukup basah tapi jangan kebanjiran. Selain itu, kandang yang beratap asbes, membuat bagian bawah untuk pengomposan ini pun terlindung dari air hujan, sehingga tidak terjadi banjir yang bisa membuat mikroba kelelep mati.
2. Cukup mikroba pengurai
Siapkan sebuah drum fermentor untuk membiakkan EM4.
Ke dalam drum itu sebelumnya sudah terisi air cucian lantai kandang kelinci, plus urine kelinci, juga terkadang kemasukan tahi kelinci dan sisa pelet pakan kelinci yang ikut jatuh terbuang.
Makanan untuk mikroba pengurai cukup berlimbah. Mungkin terjadi pertumbuhan agresif mikroba sehingga terbentuk cairan mikroba pengurai dengan konsentrasi tinggi.
3. Cukup nitrogen
urine kelinci dan cairan cuci kandang kelinci' yang kaya amonia (nitrogen) |
Jadi cairan mikroba ini bukan semata air saja.
Urine kelinci, terutama, mengandung nitrogen tinggi, tercium dari baunya yang pesing banget.
Nah, seringkali, dedaunan sampah ini kebanyakan daun kering, atau disebut sampah coklat. Bahan ini kaya serat, serat kasar, kaya Carbon, namun miskin Nitrogen. Nitrogen ini merupakan makanan mikroba. Biasanya dalam sampah selalu diusahakan ada campuran daun hijau. Sampah hijau atau daun hijau merupakan penyumbang nitrogen. Tujuan agar perbandingan antara C dengan N, atau C/N ratio kompos tidak terlalu besar. Jika kebanyakan C, atau C/N ratio nya tinggi, maka sampah akan lambat terurai, atau kurang makanan bagi mikroba.
Nah, disini peran air urine kelinci itu, sebagai penyumbang nitrogen di mana-mana dalam gunungan sampah. Menyiramkan secara rata cairan mikroba pengurai dengan dasar urine kelinci, berarti memacu pertumbuhan mikroba pengurai untuk menghancurkan sampah hijau dan sampah coklat.
Catatannya, cairan dari fermentor EM4 ini memang berbau seperti bau got. Harus sering diaduk agar gas baunya keluar. Dan kalau sering diaduk, berkurang baunya. Kalau mau tak berbau, cairan pengompos ini harus dibiarkan matang atau dibiarkan selama seminggu setidaknya. Sehingga, ketika menyiram sampah tidak perlu tutup hidung.. hehehe.
4. Ada starter berupa kompos jadi
Tambahan kompos daun belimbing ini, tampaknya memicu perkembangan mikroba lebih baik untuk berbiak.
Mungkin mikroba perlu beradaptasi hidup dulu dengan tinggal sementara di bahan kompos, lalu bergerak memakan sampah daun coklat dan daun hijau. Kompos tambahan ini diaur-aur atau disebar di atas sampah sedikit demi sedikit.
Ini mungkin mirip dengan perlakukan di kotak Takakura, yang didalamnya telah berisi kompos, sebagai starter mikroba. Sebab, kompos itu sudah mengandung mikroba di dalamnya, dalam posisi tidur atau dorman. Ada makanan dia akan aktif kembali.
Jadi, nanti dari hasil panen kompos, harus disimpan sebagian sebagai starter. Jangan semua dipakai jadi media tanam.
5. Cukup teduh.
Di bawah kandang iguana memang terasa sejuk tidak kepanasan, sehingga onggokan sampah ini tetap lembab tidak kekeringan.
Tambahan lagi, pipis iguana cukup banyak, sehingga kondisi sampah selain teduh juga terus tetap basah/lembab.
6. Cukup oksigen
Karena dibuat terbuka begitu saja, sehingga oksigen seberapa pun perlu tersedia. Angin yang bertiup di kolong kandang, menjadi penyuplai oksigen.
Juga sampah tidak dipadatkan, agar tetap ada ruang udara diantara dedaunan itu.
6. Tunggu dingin
Juga sampah tidak dipadatkan, agar tetap ada ruang udara diantara dedaunan itu.
6. Tunggu dingin
Saya pegang sampah bagian dalam memang ada rasa hangat. Cukup hangat. Berarti proses peluruhan atau pelapukan (dekomposisi) sampah oleh mikroba, berjalan baik.
Selama panas itu, tak usah dikotak-katik, didiamkan saja,a agar pematangan terjadi. Artinya supaya kompos benar matang.
Setelah itu sampah dibalik lagi untuk meratakan proses. Yang masih mentah atau berbentuk daun ditambahi lagi dengan sampah baru, dan diberi cairan pengompos lagi.
Bagian yang hancur, atau Kompos yang sudah terjadi, sebaiknya dikeruk. Saya mendapatkan kompos satu galon cat 25 liter. Lumayan. Itu belum semua. Besok dikeruk lagi.
Kelihatannya, memelihara kelinci di mini zoo sekolah memberi manfaat untuk mendapatkan cairan mikroba pengurai yang kuat.
Nah, begitulah cerita dari kotak pengomposan di bawah kandang iguana.
Setelah itu sampah dibalik lagi untuk meratakan proses. Yang masih mentah atau berbentuk daun ditambahi lagi dengan sampah baru, dan diberi cairan pengompos lagi.
Bagian yang hancur, atau Kompos yang sudah terjadi, sebaiknya dikeruk. Saya mendapatkan kompos satu galon cat 25 liter. Lumayan. Itu belum semua. Besok dikeruk lagi.
Kelihatannya, memelihara kelinci di mini zoo sekolah memberi manfaat untuk mendapatkan cairan mikroba pengurai yang kuat.
Nah, begitulah cerita dari kotak pengomposan di bawah kandang iguana.
Yuk, kita lihat juga perkembangan dari tong komposter. Mudah-mudahan rencana zero waste sampah organik di sekolah dapat terwujud ... (IM)
Lihat juga: PERKEMBANGAN PEMBUATAN KOMPOS SELAMA 3 MINGGU
0 Comments