Setiap anak unik, dan terlahir sempurna. Mini Zoo menjadi salah satu sarana atau media belajar bagi siswa inklusif atau siswa berkebutuhan khusus.
“Tolong kamu ke luar.”
“Kamu jangan masuk lagi ke sini.”
“Kamu mengganggu hewan di sini,” tegur saya dengan suara
yang lemah, karena marah bercampur sedih dan prihatin.
Siswa kelas 3 itu tertawa, lalu berlari keluar pagar mini zoo. Saya bergerak seolah menyusulnya, menegaskan agar ia segera pergi dari area mini zoo.
Tak lama ia berputar dan masuk lagi dengan tersenyum.
“Hei ..., iya kamu ... , jangan ke kandang lagi ya.” Saya berkata agak keras bebeberapa kali.
Ia pun kembali melengos sambil tersenyum berlari pergi, menggoda saya.
Ada senyum gembira dan puas serta sedikit ketakutan melihat saya, tersirat dari sudut senyumnya.
Ia pun kembali melengos sambil tersenyum berlari pergi, menggoda saya.
Ada senyum gembira dan puas serta sedikit ketakutan melihat saya, tersirat dari sudut senyumnya.
Setelah itu, saya menyesal sekali telah terlepas memarahinya dengan mengeluarkan kata-kata
yang tegas seperti itu.
Biasanya, saya selalu berusaha meladeni apa saja keinginan siswa tanpa reserve – seperti menjawab pertanyaan mereka, meminta saya mengangkat kalkun, melepas kalkun, memanggilkan burung merpati turun, meminta kacang untuk burung merpati, mengeluarkan marmut atau kelinci dari kandang, memengang landak mini yang berduri (meskipun kadang tertancap), atau memandikan iguana di kolam ikan.
Apa saja, sebisa saya, akan dicoba, karena saya meyakini, persentuhan anak dengan satwa secara hands on, akan memberikan pengalaman batin yang membekas pada ingatan siswa, dan akhirnya akan berhasil mendekatkan anak dengan berbagai satwa yang ada, dan menghilangkan fobia atau rasa takut terhadap satwa (takut dipatuk, takut digigit, merasa jijik, tak suka bau hewan/kandang).
Biasanya, saya selalu berusaha meladeni apa saja keinginan siswa tanpa reserve – seperti menjawab pertanyaan mereka, meminta saya mengangkat kalkun, melepas kalkun, memanggilkan burung merpati turun, meminta kacang untuk burung merpati, mengeluarkan marmut atau kelinci dari kandang, memengang landak mini yang berduri (meskipun kadang tertancap), atau memandikan iguana di kolam ikan.
Apa saja, sebisa saya, akan dicoba, karena saya meyakini, persentuhan anak dengan satwa secara hands on, akan memberikan pengalaman batin yang membekas pada ingatan siswa, dan akhirnya akan berhasil mendekatkan anak dengan berbagai satwa yang ada, dan menghilangkan fobia atau rasa takut terhadap satwa (takut dipatuk, takut digigit, merasa jijik, tak suka bau hewan/kandang).
Tak pilih kasih, siapa saja,
mendapat perhatian dan dukungan sama.
Siswa itu, sebut namanya A, kelas 3, seorang siswa berkebutuhan khusus dengan kendala Autisme kategori ringan. Anak berkebutuhan khusus ini sebenarnya telah
mengenal satwa dan menyukai satwa.
Ia sering masuk ke dalam area mini zoo, menunjuk dan tertawa-tawa melihat satwa yang ada. Senyumnya lebar, dan matanya yang jeli menyiratkan banyak arti dan keinginan. Sayang, meski dapat berkomunikasi, terkadang apa yang diucapkannya belum bersambungan dengan baik.
Tapi kali ini ia telah terlalu aktif berinteraksi dengan
satwa. Dan itu bukan yang pertama, dan sudah beberapa kali.
bayi varanus salvator alias biawak |
Tentu saja, para iguana kecil itu jadi kaget, begitu juga
bayi salvator. Bergerakan ke sana-kemari. Salvator mini ini pun juga gelisah, mencari lubang untuk lolos. Kemudian lewat salah satu celah kandang kawat, sang salvator mini itu keluar
lolos, terus loncat ke lantai, dan berjalan cepat lantas bersembunyi.
Saya yang barusan buru-buru mengambil tangguk ikan untuk menangkapnya, jadi kehilangan jejak.
Saya yang barusan buru-buru mengambil tangguk ikan untuk menangkapnya, jadi kehilangan jejak.
“Aduh, kemana biawak ini pergi, cepat sekali jalannya.”
Sudah terbayang, ia akan hilang, seperti halnya anak biawak terdahulu hadiah dari Pak Mulyana orangtua Naja siswa kelas 5 ……. haduh …. heh .... langsung kaki saya seperti lemas ….
Cari-cari ke bawah pot, sekitar 15 menit tidak ketemu. Ah,
mungkin saja belum rejeki, si biawak kecil pemberian Emily siswa kelas 3 itu,
akhirnya akan lepas dan hilang seperti kasus terdahulu.Terbayang koleksi mini zoo yang imut itu tinggal cuma kenangan.
Bersama pak Sukri, pengurus kandang Mini Zoo Semut, saya
berkeliling patroli seputar titik larinya tadi.
Beruntung, si biawak mini terlihat ekornya, menyelip di
antara pangkal pohon kayu. Warna kayu mirip dengan kulitnya yang hitam bertotol
putih, menyamarkan.
“Oh… kamu di situ”.
Saya gembira bangkit dan bergegas.
Saya gembira bangkit dan bergegas.
Kami pun dengan sigap mengepungnya. Saya jaga dari belakang,
pak Sukri di depan siap dengan tangguk
ikan. Pluuk.... Meski lari agak cepat, gerak mini salvator itu dapat diantisipasi pak Sukri. Tertangguk … !
Dan akhirnya, ia bisa dipulangkan ke kandang boks-nya. Rasa
sedih kuatir kehilangan, terpupuskan. Hoooh... senangnya.
SATWA DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Kembali ke peristiwa yang berujung teguran saya tadi, bukanlah
lantaran kejadian ini saja.
Sebelumnya, siswa A melakukan beberapa hal dengan cukup berani:
Sebelumnya, siswa A melakukan beberapa hal dengan cukup berani:
- Memasukkan anak biawak ke kolam ikan.
bayi salvator. Dimasukkan ke kandang anak iguana. |
Jika sempat naik ke atas kolam, maka kemungkinan anak biawak itu akan pergi menghilang. Jalannya cepat, dan warna kulitnya tersamar di kerimbunan dedaunan kering.
sudah diberi kasa kawat |
Rupanya, ini suatu kelonggaran atau kelalaian yang dapat berakibat kurang baik bagi satwa maupun siswa.
Sebab, ketika terbuka, dengan mudah siswa mengambil atau memegangnya.
Kini kandang bayi salvator diberi penutup kasa kawat. Selain agar bayi biawak tak mudah dipegang atau diambil siswa, juga agar tidak mudah kabur dengan memanjat boks.
- Memasukkan seekor kelinci ke kolam ikan.
Suatu pagi ia menurunkan keranjang (kawat)
kelinci, dari raknya. Ini sebenarnya tinggi dan cukup berat, tapi ia mampu. Cukup
mengherankan, tenaga siswa ini ternyata kuat ya…
kelinci new zealand white, silangan dengan jenis yang bongsor. |
Tak mudah pastinya, karena bobot seekor kelinci yang sudah dewasa ini, cukup berat lho.. sekitar +/- 2 kg bobotnya. Karena induknya dahulu bersilang dengan kelinci berbobot besar, giant flemish.
kini sudah kembali ceria di kandangnya. semoga sehat dan cepat beranak pinak |
- Menceburkan kandang kawat berisikan anak iguana (9 ekor) ke dalam kolam ikan.
Pak Sukri mengumpulkan anak iguana satu persatu, dan beruntung semua selamat dan tidak ada yang hilang. Padahal kejadian penceburan dengan penemuannya berjarak cukup lama, sekitar 30 menit.
- Menceburkan kembali kandang anak guana ke kolam ikan.
(Kalau kelamaan kelelep, bisa kehabisan nafas dan mati. Iguana bukanlah hewan amfibi, ia keluarga kadal/lizard yang hidup di darat tapi sesekali mandi dan menyelam)
- Meremas telur iguana yang sedang menetas.
keseruan melihat telur iguana menetas |
Teman-teman kecil tertarik melihat sedikit demi sedikit kepala iguana keluar menjulur hingga akhirnya seluruh tubuhnya keluar dari cangkang telur. Di salah satu box, tersisa 3 telur yang terakhir. Ketiga telur itu sudah pecah, dan sang bayi sedang mengeluarkan kepalanya.
bayi iguana menetas menjulurkan kepala |
Siswa A ada di sekitar beberapa siswa yang sedang asyik melihat proses penetasan itu. Ia juga mengamati.
Namun dengan gerakan agak cepat dan diluar antisipasi, ia sempat meremas ketiga telur-telur itu, sehingga kondisi bayi keluar telur dalam keadaan mengenaskan.
Bagian perut bayi iguana yang masih berada di dalam cangkang telur, rusak. Dua bayi mati tak lama kemudian mati, dan seekor bayi yang lemah berhasil selamat setelah beberapa hari mengalami proses penyembuhan.
Terhadap
ke-5 peristiwa itu, saya sendiri tidaklah kecewa, sedih, apalagi marah. Biasa
saja.
Ketika
beberapa peristiwa itu terjadi, dalam jangka selang-seling beberapa hari
berturutan, saya malahan menemukan rasa kasih sayang mendalam dan perlu
diberikan terhadap siswa A.
Sebab, sebagai siswa berkebutuhan khusus, dia mengalami kendala untuk mengekspresikan kesenangannya terhadap sesuatu, semisal dengan hewan. “Dia ingin membuat hewan-hewan itu mandi,” begitu saya mendengar penjelasan guru pembimbingnya.
Oh
.. ternyata tindakanmu itu adalah wujud
kepedulian dan rasa kasih sayang. Semoga kita semua dapat mengerti dan memahami
cara berfikir siswa A tersebut.
Dalam
satu kesempatan setelah mencemplungkan anak iguna ke dalam kolam, saya
menemuinya dengan mengelus-elus kepalanya, sambil menekankan pesan padanya.
“Nak, cara mu itu berbahaya bagi anak iguana, bisa membuat mereka mati tidak bernafas. Lain kali kamu jangan melakukannya ya,” ajar saya.
“Nak, cara mu itu berbahaya bagi anak iguana, bisa membuat mereka mati tidak bernafas. Lain kali kamu jangan melakukannya ya,” ajar saya.
Ingin saya
berbicara langsung dengan hatinya, dengan rasanya, sambil mengelus-elus
kepalanya.
Tapi,
rupanya ini sulit membekas di fikiran dan hatinya.
Terbukti ia masih mengulangi
kesenangannya itu, memandikan hewan dengan mencemplungkannya ke kolam ikan hias
yang lumayan besar. Baginya itu suatu
kesenangan, yang mungkin membahagiakan baginya.
Sebagai
sekolah inklusif, dengan beberapa orang siswa berkebutuhan khusus di dalamnya,
hanya siswa A yang menunjukkan perilaku seperti ini.
Di Semut-Semut, ada sejumlah cukup banyak siswa/anak berkebutuhan khusus dengan berbagai spektrum.
Siswa A adalah penyandang Autisme, dengan kategori ringan. Ia masih dapat berkomunikasi, dan dapat mengerti bila diberi tahu. Tapi, mesti berulang-ulang, dan dalam pengertian yang singkat/penting saja.
Siswa A adalah penyandang Autisme, dengan kategori ringan. Ia masih dapat berkomunikasi, dan dapat mengerti bila diberi tahu. Tapi, mesti berulang-ulang, dan dalam pengertian yang singkat/penting saja.
Misal, perintah "sayangi binatang". Disampaikan terpisah dengan perintah, "jangan mengganggu binatang".
Jika ia merasa senang akan sesuatu, maka ia akan mengulanginya, dalam suatu waktu berdekatan, atau bahkan bertahun-tahun kemudian bisa terulang.
Dia merasa senang dengan hewan, dan suka melihat hewan dimandikan atau memandikan hewan. (Oya, ini kesalahan saya, pernah suatu waktu saya 'menceburkan iguana' untuk mandi di kolam ikan lalu menjemurnya di pinggir kolam. Teman-teman semua senang melihat 'pertunjukan' saya itu. Mungkin ia ikut melihat dan menyenangi kejadian itu).
Mungkin setelah itu, terfikirkan dalam imajinasinya untuk memandikan anak iguana. Lalu, ingin memandikan semua hewan di kolam ikan. Ananda A memang berani dan kuat, serta dalam kendala Autisme itu ia tampak berani dan tak ada rasa takut menyentuh hewan-hewan tersebut.
Dia merasa senang dengan hewan, dan suka melihat hewan dimandikan atau memandikan hewan. (Oya, ini kesalahan saya, pernah suatu waktu saya 'menceburkan iguana' untuk mandi di kolam ikan lalu menjemurnya di pinggir kolam. Teman-teman semua senang melihat 'pertunjukan' saya itu. Mungkin ia ikut melihat dan menyenangi kejadian itu).
teman-teman kecil suka mengamati iguana, tampilannya gagah |
(Belakangan saya mendapat penjelasan, bahwa siswa A dan teman kelas lainnya baru saja pulang kegiatan berenang. Ketika di sana, ia antusias berenang dengan baik. Mungkin setelah pulang ke sekolah, terbersit di pikirannya untuk 'memberenangkan' kelinci).
Bagaimana mengatasi ini?
Di waktu mendatang, A harus tetap dibolehkan ke mini zoo. Saat itu, ia akan diajarkan berulang-ulang, bahwa 'kita harus menyayangi binatang", dan "jangan mengganggu hewan", serta "tidak semua hewan perlu dimandikan".Dan uraian itu harus terus diulang-ulang, sehingga membekas di ingatannya. Pembetulan pemahaman ini memang spesifik bagi siswa Autisme, dia harus dipahamkan secara berulang-ulang.
Ke depan, ia harus sering diajak bermain ke mini zoo bersama guru pendamping, dan sambil diulang pesan bahwa tidak boleh mengganggu binatang, dan tidak boleh mencemplungkan hewan ke kolam. Begitu terus berulang-ulang.
Jika kelak ia dengan tawa dan senyum manis serta kerling mata jelinya dapat mengerti aturan itu, berarti kita telah dapat menambahkan suatu pengalaman baru yang positif baginya. Dan satwa yang ada di mini zoo menjadi salah satu media baginya untuk pembiasaan sikap penyayang.
Jadi kalau selama ini saya mencoba berbicara dengannya, dia tidak akan dapat memahami, karena mungkin karena hanya sekali, dan ia pun melupakannya.
MINI ZOO DAN INKLUSI
Terhadap
kejadian di kandang tersebut, sang guru kelas dan guru pendamping sudah
melakukan penguatan dan pemahaman kepada siswa, dan juga memberitahu orangtua
akan kejadian tersebut guna upaya perbaikan di waktu mendatang.
Sebagai sekolah inklusif, siswa-siswa memang memiliki berbagai gaya interaksi dan gaya belajar, dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Mereka yang datang ke mini zoo, dengan berbagai kebutuhan perilaku dan emosinya, tetap diupayakan agar mendapatkan kesenangan melihat dan berinteraksi dengan satwa, sesederhana apapun interaksi itu.
Sebagai sekolah inklusif, siswa-siswa memang memiliki berbagai gaya interaksi dan gaya belajar, dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Mereka yang datang ke mini zoo, dengan berbagai kebutuhan perilaku dan emosinya, tetap diupayakan agar mendapatkan kesenangan melihat dan berinteraksi dengan satwa, sesederhana apapun interaksi itu.
“Setiap siswa unik. Begitu pun dengan siswa
berkebutuhan khusus, mereka adalah ciptaan Allah SWT yang sempurna, sama seperti
halnya kita dan anak-anak yang lain. Tugas kita mengarahkan kemampuan dan menggali potensi
siswa berkebutuhan khusus itu, serta membantunya menjadi insan yang terbaik
yang dia mampu,” begitu saya dengar petutur motivasi Bunda Arfi
Destianti dalam pengelolaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah Semut-Semut
the Natural School.
Agar
peristiwa ini tidak terulang, kini guru pembimbing khusus telah berupaya untuk
mendampingi dan menemani di dalam kelas maupun saat di luar kelas (istirahat, free play). Di samping itu, siswa
mendapat arahan dan penguatan tentang hal yang baik dan tidak perlu dilakukan.
Terhadap
beberapa kejadian tersebut, saya merenungkan tentang arti berbuat baik dalam kehidupan
ini. Terhadap satwa di Mini Zoo Semut, juga terhadap para pengunjung.
“Berbuat
baiklah, dan selalu berbuat baik, meski tidak mendapat respon seperti yang kau
inginkan.”
“Melayani .... itu saja. Semuanya diterima sebagai yang hal yang baik dan positif untuk pembelajaran.”
“Melayani .... itu saja. Semuanya diterima sebagai yang hal yang baik dan positif untuk pembelajaran.”
“Kebahagiaan
itu diperoleh dengan melayani, dan memberikan fasilitasi kemudahan bagi semua
siswa, agar mereka suka dan mengenal berbagai satwa, dan kelak setelah dewasa akan berfihak
untuk melindungi dan menyayangi satwa dan puspa.”
“Maafkan
bapak ya, karena telah
menegur atau memarahimu, ananda A. Bapak mesti belajar lagi tentang inklusifitas."
"Semoga kamu mengerti, bapak tetap menyayangi mu. Bukannya menegur dirimu yang di dalam, namun hanya ingin mengingatkan agar kamu menyayangi satwa dan mengubah perilaku mu yang membahayakan nyawa satwa.”
"Semoga kamu mengerti, bapak tetap menyayangi mu. Bukannya menegur dirimu yang di dalam, namun hanya ingin mengingatkan agar kamu menyayangi satwa dan mengubah perilaku mu yang membahayakan nyawa satwa.”
Salam
/IM
0 Comments